Senin, 06 April 2009

Ingatan

“Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.”

Membaca tulisan Goenawan Mohamad (GM), dalam kolom “Catatan Pinggir” Majalah Tempo edisi 12 April 2009 berjudul “Herman”, membuat saya jadi “ingat”. Ada orang-orang yang bersama mereka pernah tersusun suatu rencana yang baik. Bahwa, ada satu masa di mana terasa begitu kuatnya cita-cita. Mungkin itulah indahnya “zaman bergerak”. Terasa semua seperti begitu kuat dan mengikat. Semua seakan menjadi “kita”. Tak penting dia siapa dan mejadi apa, di saat semuanya bekerja untuk recana baik itu.

Karena tulisan GM ini, saya langsung menelpon Bambang Ekalaya (BE), mengirim SMS ke Andi Arif (AA), sekadar untuk menyapa dan berbagi ingatan. Rasanya, di batas zaman yang kian singkat ingatan sekarang ini, saya sedang dibangunkan untuk kembali ingat. Dalam pembicaraan tepon itu, BE bilang, dia akan telpon “Mas Goen”, begitu dia menyapa Goenawan. Tak Lama dia mengirim SMS mengabarkan bahwa Ging Ginanjar sedang di Jakarta –lama sekali tak saling kabar dengan Ging, kawan ini sekarang tinggal di Jerman. Dan, saya menghubungi Ging. Senang rasanya menjadi ingat. (Karenanya, saya berterimakasih untuk tulisan yang mengingatkan ini.)

(Karena tulisan GM ini pula saya menjadi ingat Herman, yang dalam perkenalan dengan saya di YLBHI, JL Diponegoro, ia mengaku bernama Sadli. Saat itu tentu ia sedang ”bergelap-gelap”. Dalam beberapa pertemuan Herman, yang berkacamata tebal ini, kerap berbaju hitam-hitam selalu berhati-hati dalam berbicara. Saya mengenalnya sebagai aktivis mahasiswa dari Surabaya. Ia dalam obrolan sering menggunakan bahasa jawa. Dan, saya mengira dia orang Jawa. Barulah setelah dia dihilangkan paksa, saya mengetahui bahwa ia satu kampung dengan saya, dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan saya, karena pernikahan --Ayahnya, Oom Hambali, adalah paman dari istri paman saya. Seandainya tahu sebelumnya, saya tentu akan memanggilnya paman).

Menjelang hari pencontrengan pada pemilihan umum 2009 ini, dari tulisan GM tersebut, terasa pentingnya untuk terus menjaga ingatan. Setelah 10 tahun gerakan reformasi, bahwa rekam jejak mereka-mereka yang bertarung menawarkan diri pada kita untuk menempati kursi kekuasaan, sepertinya tak bisa dilihat hanya sekadar potret-potret yang terpajang di setiap sudut jalan dalam beberapa minggu belakangan ini. Atau begitu kerapnya iklan yang dijejalkan melalui media massa. Atau berbagai rupa “cindra mata” yang siap ditebar dalam beberapa hari ke depan. Kalau tidak, bukan tidak mungkin, kita akan kembali dipaksa untuk ingat bahwa kita membiarkan ingatan kita menjadi lalai dengan cara-cara yang akan mencederai kita. Alangkah nestapanya kita kelak, seperti yang ditulis GM, “Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman.”

Agaknya, sekecil apapun itu, harus ada yang dikerjakan. Waktu kita memang tak banyak. Tinggal beberapa hari lagi. Tapi, tentu bukan berarti tidak cukup waktu untuk kembali menyusun rencana baik. Setidaknya, dengan ini, kita berikhtiar untuk terus menjaga ingatan melawan lupa.


tabik