Megawati SP, atau Mbak Ega, atau Ibu Mega, mantan wakil Presiden dan Presiden RI, yang juga putri mendiang Presiden pertama RI dan Proklamator republic ini, dengan suara bergetar dan sembari memukulkan tangan ke meja podium mimbar kampanye, hingga hampir menjatuhkan gelas minumannya, menyatakan betapa hatinya merasa terpukul tatkala melihat ibu-ibu, yang berdesak-desakan sembari disaksikan anak-anak mereka mengantri BLT. Ketua partai PDI-Perjuangan ini, juga mengkritik dan menyerukan kader partainya untuk mengawasi pemilu yang segera tiba agar tak dicurangi oleh penggelembungan DPT.
Soesilo Banbang Yoedhoyono, atau SBY, Presiden RI sekarang, yang juga mantan menterinya Megawati SP, dalam mimbar kampayenya ditempat lain menyambut gayung BLT dan DPT ini, tentu saja dengan ekspresi dan retorika yang berbeda dan dengan nada suara yang tertahan, sembari memaparkan berbagai ragam keberhasilannya dalam memimpin negeri yang tengah banyak musibah ini, SBY menyelipkan jawaban atas kecaman Megawati SP (MSP), dan bertanya apakah perlu dilanjutkan?
Penggalan dari debat atau perang urat syaraf BLT-DPT ini dapat kita saksikan di berbagai berita yang ditayangkan oleh TV-TV Swasta . Tentu, akan lebih menarik perdebatan ini dilakukan secara terbuka dan dalam mimbar atau forum yang bersamaan. Di mana kedua tokoh utama republic ini dapat saling menyampaikan pandangannya atas dua tema utama ini.
Agaknya, tema BLT-DPT ini memang perlu untuk diurai secara lugas. Misalnya apakah BLT perlu dan layak dilanjutkan? Atau, benarkah DPT yang sekarang ini layak dan dapat dipertanggungjawabkan dan menghasilkan pemilu yang demokratis?
Dengan bertemunya kedua petinggi utama partai oposisi dan partai penguasa ini, sekaligus dapat saling mengklarifikasi retaknya silaturahmi yang kerap menjadi bahan analisis pengamat-pengamat yang makin ramai dalam ruang “wacana” politik kita. Apakah perbedaan ini merupakan perbedaan yang berlatar ideology atau hanya beda pendapat yang disebabkan oleh “tempat berdiri”? Semoga saja tontonan yang pastinya menarik ini akan segera terselenggara dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya!
tabik.
Rabu, 25 Maret 2009
Selasa, 24 Maret 2009
Ingatan untuk "Pikun Sosial"
Mungkin, kita memang memerlukan wakil. Bukankah tak semua hal dan urusan dapat kita tangani sendiri. Sehingga, dalam banyak hal kita memerlukan "orang" untuk mewakili kita mengurus hajat dan kepentingan kita. Setidaknya, begitulah adanya.
Ketika kita memerlukan bantuan ini, sudah barang tentu, kita berharap wakil kita yang mengurus keperluan-keperluan kita ini dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Karenanya, tentu kita tak bisa menitipkan hajat dan kepentingan kita ini pada "orang asing". Pada sesuatu yang sekonyong-konyong muncul. Bisa cilaka kita! Bisa-bisa, titipan kita ini di bawa kabur.
Nah, karenanya setiap titipan, yang kita amanatkan haruslah dengan baik diingat dan tercatat. Terlebih jika kita pelupa!
Dalam hajatan besar yang sedang berlangsung sekarang ini: "Pemilihan Umum", yang dalam konteks tertentu dapat disebut juga "Perwakilan Umum" ada baiknya kita sedikit menyisihkan waktu untuk membuat catatan. Dan, tentu akan jauh lebih fair bila catatan ini disepakati bersama semacam kontraktual. Bahwa kita telah menitipkan sejumlah pekerjaan, dan sang wakil menyanggupinya. Dengan ini setiap catatan yang dibuat dapat menjadi acuan. Memang agak sedikit repot. Belum lagi jika orang yang dititipi ini mangkir, atau mengidap penyakit "pikun sosial". Namun setidaknya kan ada "debt collector" yang dapat kita tunjuk untuk mewakili kita menagih janji yang tertera dalam catatan kontrak sosial yang ada. Atau dengan mudah kita dapat mengulang prestasi 10 tahun yang lalu dalam "perang ingat melawan lupa" ketika dengan berbondong-bondong membawa catatan yang diingkari "Jenderal Soeharto dan kroninya" ke senayan! Lebih mudahkan?
tabik
Ketika kita memerlukan bantuan ini, sudah barang tentu, kita berharap wakil kita yang mengurus keperluan-keperluan kita ini dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Karenanya, tentu kita tak bisa menitipkan hajat dan kepentingan kita ini pada "orang asing". Pada sesuatu yang sekonyong-konyong muncul. Bisa cilaka kita! Bisa-bisa, titipan kita ini di bawa kabur.
Nah, karenanya setiap titipan, yang kita amanatkan haruslah dengan baik diingat dan tercatat. Terlebih jika kita pelupa!
Dalam hajatan besar yang sedang berlangsung sekarang ini: "Pemilihan Umum", yang dalam konteks tertentu dapat disebut juga "Perwakilan Umum" ada baiknya kita sedikit menyisihkan waktu untuk membuat catatan. Dan, tentu akan jauh lebih fair bila catatan ini disepakati bersama semacam kontraktual. Bahwa kita telah menitipkan sejumlah pekerjaan, dan sang wakil menyanggupinya. Dengan ini setiap catatan yang dibuat dapat menjadi acuan. Memang agak sedikit repot. Belum lagi jika orang yang dititipi ini mangkir, atau mengidap penyakit "pikun sosial". Namun setidaknya kan ada "debt collector" yang dapat kita tunjuk untuk mewakili kita menagih janji yang tertera dalam catatan kontrak sosial yang ada. Atau dengan mudah kita dapat mengulang prestasi 10 tahun yang lalu dalam "perang ingat melawan lupa" ketika dengan berbondong-bondong membawa catatan yang diingkari "Jenderal Soeharto dan kroninya" ke senayan! Lebih mudahkan?
tabik
Ramai
Hari ini, hari-hari kita tengah ramai. Ramai oleh slogan dan janji-janji. Ramai dengan wajah-wajah yang sumringah yang terpampang di spanduk-spanduk! Ramai akan klaim perbaikan nasib dan perubahan! Yah, tak apalah. Sebuah keramaian terkadang mungkin diperlukan.
Dalam batasnya keramaian yang hari ini tengah mengepung kita merupakan refleksi akan begitu sesaknya dada sebagian orang untuk mewakili kepentingan "orang banyak". Bahkan hasrat untuk mewakili ini terkadang membuat kita terharu. Setidaknya, masih ada sebagian orang yang mengiklaskan dirinya menjadi corong kehendaknya ini, dan dengan suka rela untuk "dipantek" dan bergelantungan di pohon-pohon! Untuk ini, selayaknya kita mengucapkan terimakasih. Bahwa, dengan segenap ikhtiar yang ada, sebagian orang dengan susah payah memberanikan diri untuk mengatakan kita layak diwakili.
Setidaknya hari yang ramai belakangan ini membuat kita menjadi ingat bahwa hasrat yang paling primitif yang bernama kuasa (dengan kemasan anggun bernama keterwakilan) itu masih begitu penuh warna dan corak. Dan, dalam setiap warna dan corak yang terpancar, sedikitnya kita sebagai bagian dari penyaksi gejala lima tahunan ini dapat menelisik dan jika perlu menyangsikan keramaian ini. Karena, adalah hukumnya, yang tampak sesaat seperti kilauan cahaya jamaknya tak selalu merupakan pancaran dari hakikat keberadaaanya. Sehingga, tatkala keramaian ini berakhir, setidaknya masih ada ingatan yang didapat.
Tabik
Dalam batasnya keramaian yang hari ini tengah mengepung kita merupakan refleksi akan begitu sesaknya dada sebagian orang untuk mewakili kepentingan "orang banyak". Bahkan hasrat untuk mewakili ini terkadang membuat kita terharu. Setidaknya, masih ada sebagian orang yang mengiklaskan dirinya menjadi corong kehendaknya ini, dan dengan suka rela untuk "dipantek" dan bergelantungan di pohon-pohon! Untuk ini, selayaknya kita mengucapkan terimakasih. Bahwa, dengan segenap ikhtiar yang ada, sebagian orang dengan susah payah memberanikan diri untuk mengatakan kita layak diwakili.
Setidaknya hari yang ramai belakangan ini membuat kita menjadi ingat bahwa hasrat yang paling primitif yang bernama kuasa (dengan kemasan anggun bernama keterwakilan) itu masih begitu penuh warna dan corak. Dan, dalam setiap warna dan corak yang terpancar, sedikitnya kita sebagai bagian dari penyaksi gejala lima tahunan ini dapat menelisik dan jika perlu menyangsikan keramaian ini. Karena, adalah hukumnya, yang tampak sesaat seperti kilauan cahaya jamaknya tak selalu merupakan pancaran dari hakikat keberadaaanya. Sehingga, tatkala keramaian ini berakhir, setidaknya masih ada ingatan yang didapat.
Tabik
Langganan:
Postingan (Atom)